Tempat Persinggahan Terakhir Ratu Tribuaneswari (Putri Sulung Raja Kartanegara Singosari dan Permaisuri Raden Wijaya)

Spread the love

Gajah Mada Dilahirkan
Sejarah Tentang Nama Gunung Ratu

Ngimbang Lamongan – Berawal dari mkisah Raden Wijaya berhasil membalaskan dendam Kerajaan Singosari yang runtuh akibat serangan pasukan Glang-Glang sampai berhasil mendirikan Kerajaan Wilwatikla sebagai penerus Singasari.

Raden Wijaya menjadi Raja dengan permaisuri Ratu Tribuaneswari, Raden Wijaya juga menikahi tiga anak Raja Kartanegara/adik dari Ratu Tribuaneswari yaitu (Narendraduhita, Jayendradewi, dan Gayatri).

Tidak lama setelah itu. Kebo Anabrang dan Pasukan Raja Kertanegara yang melakukan ekspansi Pamalayu datang membawa dua putri yaitu Dara Pethak dan Dara Jingga (Putri Boyongan) sebagai persembahan kepada Raja Kertanegara. Karena Raja Kertanegara sudah mangkat maka Dara Pethak diserahkan dan diperistri oleh Raden Wijaya.

Ratu Tribuaneswari dan tiga adiknya dari Trah Singasari saat itu, hanya Gayatri yang memiliki anak dan Itupun perempuan, sementara Dara Petak memiliki anak laki-laki sehingga DARA PETHAK DIANGKAT MENJADI INDRESWARI (Istri yang dituakan karena memiliki anak laki-laki).

Sebagai istri yang dituakan Dara Pethak berambisi menjadikan anaknya sebagai Raja.

Saat mengetahui Ratu Tribuaneswari hamil, ada ketakutan jika nanti Tribuaneswari melahirkan anak laki-laki, maka anak Dara Pethak yang bernama Jayanegara yang sudah dikukuhkan menjadi putra mahkota di usia tiga tahun kelak tidak bisa menjadi raja pengganti Raden Wijaya.

Dara Pethak bermanufer dan berhasil memprovokasi Raden Wijaya sampai akhirnya Ratu Tribuaneswari diusir dari Wilwatikta dalam keadaan mengandung.

Ratu Tribuaneswari keluar dari istana dan puncak perjalananya singgah di Gunung Ratu (sebelumnya bernama Gunung Himbang).

Demi keselamatan anak yang dikandungnya keberadaan Ratu Tribuneswari di Gunung Ratu ini sangat dirahasiakan agar tidak diketahui oleh pasukan Wilwatikta.

Untuk menutupi jatidiri dan kehamilannya, Ratu Tribuaneswari mengubah nama menjadi Dewi Andongsari dan memunculkan desas-desus untuk dirinya sendiri.

Bahwa dia diusir dari keluarganya karena telah mengandung anak hasil hubungan gelap diantaranya dengan tentara Tar-tar, maupun kepala desa, bahkan Dewi Andongsari mengakui dirinya hanya sebagai selir Raden Wijaya.

Hal ini dilakukan untuk menyelamatkan putranya agar tidak dibunuh jika diketahui jati diri yang sebenarnya dan inilah yang menjadi faktor banyaknya kisah tentang Dewi Andongsari. Ratu Tribuaneswari melahirkan anak laki-laki tentu sangat bahagia dan mengasuhnya dengan penuh cinta.

Sampai pada akhirnya Ratu Tribuaneswari mengalami peristiwa kesalah pahaman dengan abdi kinasihnya dan terjadi peristiwa berdarah sehingga Ratu Tribuaneswari dan abdi kinasihnya sama-sama wafat Resi Darmayogi atau dikenal juga sebagai Mpu Sedhah atau Mpu Dipa atau Ki Gede Sidewayah, saat itu mencari BIJIN BESI untuk bahan membuat keris bersama rombonganya.

Mendengar suara tangisan anak, seketika itu juga Resi Darmayogi/Ki Gede Sidowayah mencari dan mendatangi sumber suara. Beliau menemukan seorang anak laki-laki yang menangisi Ibunya dan abdi kinasihnya yang sudah tidak bernyawa. Ki Gede Sidowayah kemudian menggendong anak tersebut dan sebagian rombonganya diutus untuk mengabarkan kepada masyarakat yang berada di desanya sembari mempersiapkan pemakaman Dewi Andengsari dan ahdi kinasihnya.

Setelah mengebumikan Dewi Andongsari dan abdi kinasihnya, Resi Darmayogi/Ki Gede Sidewayah menemukan sebuah KOTAK BERISI MAHKOTA DAN BARANG-BARANG MILIK DEWI ANDONGSARI.

Dari barang yang ditemukan tersebut Ki Gede Sidowayah mengetahui bahwa anak yang di tolong tersebut adalah anak Ratu, sesaat setelah pemakaman itulah Ki Gede Sidowayah menamakan bukit ini dengan sebutan GUNUNG RATU (TEMPAT SANG RATU DIKEBUMIKAN).

Cerita lengkapnya ada di buku pakem ceruta rakyat gunung Rata Bagi yang membutuhkan bukunya bisa menghubungi (Mbah Jumain Juru Kunci) bagi yang membutuh narasumber/pemandu Sejarah hub (Mbah Warne 081 235 003 200.

(Ng)

About Post Author