10 November 2024

Luar Biasa, Ternyata Nyepi Adalah Pesan Jenius Penyelamatan Semesta & Pemutus Rantai Penyebaran Virus Corona

0
Spread the love

 

Jembrana – Jika diulas balik berdasarkan Naskah Lontar-Lontar dan ingatan sejarah, masyarakat Bali sesungguhnya telah mengenal Wabah sejak Zaman Lampau, demikian dijelaskan oleh Jro Mangku Suardana (45) salah seorang Pemangku di Pura Dangkahyangan Rambutsiwi, Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali, Selasa (24/3).

Menurutnya, adapun kosa kata Wabah yang tersurat dalam berbagai Lontar Usada Bali (Lontar Pengobatan) diantaranya, Pertama adalah Merana, kata ini berarti Wabah, baik Wabah yang menyerang tumbuhan, hewan, dan manusia. Kedua adalah Gering Agung, kata ini berarti terserang Wabah penyakit menular, yang datang bisa sesuai musim. Lontar Usada Manut Sasih mengelompokkan berbagai penyakit menular sebagai sakit musiman yang memiliki siklus, dan sakit yang datang dalam pancaroba yang panjang, cuaca tidak menentu, berlalu lokal serta global (Gumi Kageringan). Ketiga adalah Gerubug, artinya Wabah yang menelan kematian mendadak dan serempak, tidak ditemukan gejala lama, langsung mewabah dan menewaskan. Kata gerubug bisa dipakai ketika ternak mati mendadak serempak, dan juga kematian manusia yang terjadi serempat dan mewabah. Keempat adalah Sasab, yakni Wabah demam menular yang mematikan, menular secara cepat, dan sebagainya.

“Istilah gerubug disebut dalam Lontar-Lontar Bali. Dari sekian banyak Lontar Usada di Bali, seperti Usada buduh, Usada Rare, Usada Kacacar, Usada Tuju, Usada Paneseb, Usada Dalem, Usada Ila, Usada Bebai, Usada Ceraken Tingkeb, Usada Tiwang, Usada Darmosada, Usada Uda, Usada Indrani, Usada Kalimosada, Usada Kamarus, Usada Kuranta Bolong, Usada Mala, Usada Rukmini Tatwa, Usada Smaratura, Usada Upas, Usada Yeh, Usada Buda Kecapi. Usada Cukil Daki, Usada Kuda, Usada Pamugpug, dan Usada Pamugpugan, dan masih banyak lainnya. Kita mengenal ratusan penyakit (Gering) yang pernah menimpa masyarakat Bali. Lontar-Lontar ini adalah bukti kalau Bali pernah terpapar berbagai Wabah dan salah satunya yang sangat ditakuti adalah Gerubug”, jelas Jro Mangku Suar.

Lebih lanjut dikatakannya, Lontar Taru Pramana adalah salah satu Lontar yang disebutkan sebagai ajaran suci dari Bhatari Ghori (Durga) yang diturunkan kepada Mpu Kuturan. Ketika dunia dilanda Gerubug, dunia dilanda Wabah Cakbyag (mati di tempat) yang memakan korban sebagian warga.

Dalam suasana itu, sedih dan tergerak hati Mpu Kuturan. Beliau kemudian melakukan Tapa memuja Bhatari agar diberi kekuatan penyembuhan. Ajaran yang diterima dalam Tapa itu, disurat dan dikenal sebagai Lontar Taru Pramana. Dalam Lontar ini, disebutkan setidaknya ada 202 tumbuhan di sekitar kita yang bisa dijadikan tamba (obat) mujarab, dan bisa dipakai ketika masyarakat dilanda wabah.

Berikut, terekam dalam Geguritan Jayaprana. Di dalam Geguritan ini, bukan hanya khayalan penduduk, dan bukan hanha cerita sebelum tidur biasa. Ini adalah rekaman peristiwa dimana Wabah Penyakit Menular yang sempat menghancurkan kehidupan di masa lalu. Kejadian ini yang lokasi kejadiannya di Desa Kalianget, kecamatan Seririt, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali. Ingatan komunal ini kenudian dirangkai dalam kisah yang terus dikenang dalam Cerita Rakyat, seperti Drama Gong atau seni pertunjukan lainnya, dan diabadikan secara tertulis dalam Lontar Geguritan Jayaprana.

Tidak jauh dari Desa Kalianget, juga terdapat kisah cerita rakyat asal usul nama Desa Sidatapa, yang mempunyai kenangan tentang Wabah dan menghancurkan Desanya. Mereka menyebutnya sebagai Gering Grubug Bah Bedeg. Menurut cerita orang-orang tua, ketika itu ada Wabah Besar terjadi di Desa Sidatapa. Secara temurun dikisahkan, dahulunya Desa Sidatapa bernama Desa Gunung Sari. Cikal bakalnya, ada kelompok keluarga yang terpisah-pisah tinggal di kawasan Pedusunan Leked, Kunyit dan Sengkarung. Ketiganya ini bergabung membentuk Desa yang dinamakan Desa Gunung Sari. Tidak dikisahkan setelah berapa tahun kemudian, Desa yang tenang ini berubah mencekam. Banyak kematian tiba-tiba. Warga ketakutan. Kematian terjadi secara tiba-tiba dan tidak masuk akal, hingga datang seorang Pertapa membantu. Setelah sang Pertapa memasuki alam Tapa, Beliau mendapat petunjuk dan berhasil menyelamatkan sebagian warga yang terkena Wabah. Desa ini kemudian namanya diganti menjadi Desa Sidatapa. Dimaksudkan sebagai Desa yang selamat karena seorang Pertapa, ‘Siddha’ (berhasil) melakukan ‘Tapa’. Disamping penduduk Sidatapa, di Desa Pedawa juga mengenal kisah Gerubug. Di daerah Barat Desa Kalianget, yakni di Desa Banjarasem dan Kalisada juga mengenal kisah yang sama. Dimana Wabah itu juga dikenal sebagai Gering Bah Bedeg.

Selanjutnya, masyarakat Desa Julah dan juga Sembiran, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, juga punya kisah mendalam tentang Gerubug, Sakit Gede, Bah Bedeg dan Gering Agung, hingga Desa Desa tersebut membuat aturan, jika penduduknya keluar Desa harus membawa Daun Intaran atau Mimba (Azadirachta Indica). Menurut sejarahnya, daun ini menyelamatkan masyarakat Julah dari Gerubug. Sehingga Intaran (Mimba) menjadi tanaman yang wajib ada di setiap rumah masyarakat. Tanaman ini di Julah sangat disakralkan, karena jasa menyelamatkan leluhurnya, dan khasiatnya sampai sekarang terbukti menyembuhkan berbagai penyakit. Intaran terus dipakai sampai saat ini sebagai sarana upacara seperti Tepung Tawar. Bisa juga daunnya diusapkan di tangan untuk Antiseptik mematikan Bakteri.

Pria yang saat ini masih aktif sebagai Anggota TNI dan Berdinas di Tim Intel Korem 163/Wirastya dan juga menjabat sebagai Sabha Walaka di PHDI Kabupaten Jembrana ini, lebih jauh memaparkan, kisah di Desa Dukuh Penaban, Karangasem. Bahwa di Desa itu kini sampai memiliki Tari Canglongleng. Tari ini adalah mengisahkan ketika Dukuh Penaban mengalami Grubug. Lalu ada orang pintar di desa mendapat Pawisik untuk mengusir Grubug itu. Setelah dilakukan upacara Mecaru atau Suguhan juga mengogong Ida Bhatara dengan busana Poleng (Hitam Putih), sambil bersorak-sorak ‘Aahh…Iiihhh…Uuuhhh’. Dan setelah itu dilakukan, Grubug itupun hilang.

“Dari Lontar-Lontar, Kisah Rakyat, Ingatan Turun-Temurun, kita diajak untuk siap menghadapi masa kini dan masa depan mengacu dari pengalaman para tetua kita di masa lampau. Gerubug pernah menyerang Bali. Gerubug pernah memporak-porandakan Bali, hingga mengajarkan kita untuk tidak meluoakan pengalaman demikian saja, dan mengjarkan kita tetap tenang pada situasi apapun dan dimanapun. Para tetua kita, telah banyak menurunkan konsep untuk menangkal Wabah, diantaranya dengan melakukan praktek Usada, Yoga atau olah gerak sama dengan olah raga, juga menggelar Upacara-Upacara Sakral yang bersifat untuk memperoleh keselamatan artinya terbebas dari penyakit, wabah dan marabahaya, seperti misalnya Upacara Nangluk Merana. Upacara Nangluk Merana, tersurat dalam Lontar Purwaka Bumi tergolong jenis Bhuta Yadnya dan tujuan dilaksanakannya upacara Nangluk Merana oleh umat Hindu di Bali yaitu pada umumnya untuk memohon keselamatan Bali agar dijauhkan dari hal-hal yang negatif, terutama sejumlah bencana yang terjadi selama ini di Nusantara. Nangluk Merana biasanya dilaksanakan pada Sasih Kanem (bulan enam Kalender Bali) oleh umat Hindu di Bali. Kenapa pada Sasih Kanem karena secara faktual, Sasih Kanem merupakan musim Pancaroba, yakni peralihan dari musim kemarau ke musim hujan. Hujan yang turun pada Sasih Kanem lebih lebat dari pada hujan saat Sasih Kalima. Hingga musim Pancaroba tentu saja berdampak pada kondisi alam dan merebaknya aneka penyakit atau pun hama. Dan dengan adanya Upacara Nangluk Merana inilah diharapkan dapat memberikan keselamatan lahir dan batin. Selain itu, ada juga Upacara Melukat dan Prayascita yaitu pembersihan diri dan menjaga kesucian. Ada juga Mecaru, Tawur dan sebagainya termasuk melaksanakan Nyepi dengan menggelar Catur Brata diantaranya Amati Karya (Tidak Bekerja), Amati Geni (Tidak Menyalakan Api atau Amarah), Amati Lelanguan (Tidak Bepergian) dan Amati Lelanguan (Tidak Berpesta dan Tidak Berkumpul Banyak Orang, Tidak Makan dangan Minum atau Berpuasa). Kenapa melakukan Nyepi, inilah satu konsep pesan jenius dari leluhur Bali yang patut dicontoh dunia untuk menjaga keharmonisan dan keselamatan alam semesta. Jika dikaitkan penyebaran Virus seperti Corona atau Covid 19 yang saat ini mewabah, dengan Nyepi kita dapat memutus rantai penyebaran Virus, terbukti Pemerintah mengimbau kita untuk melakukan Lockdown”. Ini sama saja kita melakukan Nyepi Internasional”, tutup Jro Mangku Suar. (selamat bali)

About Post Author

Tinggalkan Balasan