7 Oktober 2024

Sertifikasi Pranikah solutifkah?

0
Spread the love

Sertifikasi pranikah, solutifkah?

Oleh :
Ulfa Safitri
Mahasiswa program studi Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Islam Malang Alamat : Desa Cepokolimo, Kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto.

Pernikahan merupakan salah satu topik yang tidak akan pernah habis untuk dibahas dan selalu menjadi topik yang menarik. Tentu saja sebagai muslim tujuan pernikahan bukan hanya untuk memenuhi naluri sebagai manusia akan tetapi lebih besar dari itu, pernikahan sebagai sarana untuk beribadah kepada Allah SWT.Pernikahan sebaiknya dipermudah, sesuai dengan sunnah rasul “Sebaik-baik pernikahan ialah yang paling mudah.’ (HR. Abu Dawud).
Akhir-akhir ini masyarakat dihebohkan dengan rencana yang dikeluarkan oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Kemanusiaan dan Kebudayan (Menko PMK) Muhadjir Effendi, beliau mengatakan calon pengantin tidak boleh menikah jika belum memiliki sertifikat nikah. Dengan sertifikat tersebut, pasangan yang akan menikah harus mengikuti pelatihan tentang keluarga , ekonomi keluarga hingga kesehatan reproduksi. Pelatihan pranikah diharapkan berdampak menekan angka perceraian, mengatasi angka stunting dan meningkatkan kesehatan keluarga. Sertifikat siap kawin ini menjadi syarat nikah. Dan bagi yang belum lulus sertifikat tidak diizinkan menikah. (liputan6.com. 14/11/2019)
Sepintas, tidak ada yang keliru dengan ikhtiar tersebut. Tak cuma diajarkan perihal tujuan pernikahan serta hak dan kewajiban suami-istri, calon pengantin bisa mempelajari kesehatan alat reproduksi, pencegahan penyakit, pentingnya ekonomi rumah tangga, hingga tips merawat janin dan mengasuh anak sejak usia dini. Semua hal itu tentu berguna bagi pasangan suami-istri di kemudian hari.
Sayangnya, tak sedikit pemberian konseling pranikah yang selama ini diberikan kantor urusan agama justru menyuburkan benih-benih budaya patriarki dalam rumah tangga dengan menempatkan posisi kaum lelaki lebih tinggi ketimbang kaum perempuan. Misalnya istri yang haram menolak berhubungan badan hingga wajib mengerjakan urusan domestik-seperti halnya pendapat yang umumnya dipahami kaum konservatif. Materi yang disampaikan sering kali hanya untuk memperkuat peran tradisional suami-istri.
Selanjutnya, pembekalan tersebut tidak bisa dijadikan acuan untuk menerbitkan sertifikat pranikah, apalagi sampai menjadi syarat dalam sebuah pernikahan. Peran negara cukup sampai memfasilitasi administrasi pencatatan kependudukan hingga menerbitkan buku nikah. Pendek kata, negara tidak usah terlalu jauh mencampuri urusan privat yang sifatnya interpersonal.
Rencana pemerintah mewajibkan calon pengantin untuk mendapat sertifikat layak kawin sebelum menikah ini sudah menuai banyak perdebatan. Beberapa diantaranya adalah Selain mencampuri urusan privat masyarakat Utamanya adalah membuat pernikahan menjadi semakin berbelit. Apalagi ada lulus atau tidak. Penerbitan sertifikat sebelum menikah bisa memperumit birokrasi pelayanan pernikahan dan menciptakan peluang terjadinya “kesepakatan” di bawah meja. Selain akan memperumit birokrasi, sertifikasi pranikah bisa menciptakan peluang pemerasan dan suap. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pungutan liar kerap terjadi terkait dengan pelayanan nikah. Padahal Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2015 jelas-jelas menyebutkan bahwa biaya menikah di luar kantor urusan agama bertarif Rp 600 ribu. Pernikahan bahkan tidak dikenai biaya bila berlangsung di KUA. Pada praktiknya, tak sedikit pegawai KUA meminta lebih dari tarif resmi yang ditetapkan.Bukan tidak mungkin, praktik lancung tersebut juga akan terjadi pada sertifikasi layak nikah.
Dengan adanya sertifikat siap kawin sebelum menikah ini belum tentu dapat menjamin akan mampu menurunkan angka percerain, dan dimana sertifikat siap kawin ini tidak termasuk rukun nikah maupun syarat sah menikah dalam islam. Dengan demikian menjadikan sertifikat nikah sebagai salah satu syarat pernikah dan harus mengikuti palatihan maka akan semakin mempersulit masyarakat yang siapa nikah. Sehingga bisajadi karena sulitnya untuk bisa menikah maka kemungkinan perzinaan akan semakin merajalelah.
Jika dicermati kebijakan yang diajukan ini agar ketahanan keluarga dan kesejahteraan keluarga semakin baik. Pertanyaannya, apakah sertifikat siap kawin ini merupakan solusi yang efektif?
Ketahanan keluarga tidak hanya melibatkan satu unsur berupa ketidaktahuan terhadap hak dan kewajiban di dalam keluarga, sehingga muncul masalah-masalah dalam keluarga yang berujung pada perceraian dan KDRT. Memang kita tidak bisa menutup mata kalau banyak yang tidak tahu tentang hak dan kewajiban tetapi kita juga harus mengetahui kalau sudah banyak yang mengetahui tentang hak dan kewajibannya.
Mengapa masih banyak masalah yang timbul?, ini dikarenakan landasan ketakwaan tidak tertanam kuat, sehingga hak dan kewajiban seringkali dilalaikan atau tidak dilaksanakan, dan ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan pemberian pelatihan.
Contoh yang lain, dalam hal ekonomi yang menghasilkan permasalahan anak-anak yang stunting atau muncul permasalahan KDRT. Tingginya kasus stunting itu karena tidak adanya pemerintah dalam menyediakan pemenuhan kebutuhan pokok yang halal, sehat, bergizi, seimbang, dan thayyib. Kalaupun ada kebutuhan pokok yang halal dan thayyib namun harganya jauh lebih mahal. Sehingga bagi masyarakat yang golongan menengah kebawah tidak mampu untuk membelinya. maka rakyat pun hanya mampu membeli beras yang harganya murah dan kualitas juga murahan. Otomatis wajar apabila masih banyak kasus stunting dinegeri ini.
Kemudian tingginya angka percerain biasanya karena masalah nafkah, anak, perselingkuhan, dan perbedaan pandangan dan lain-lain. Sementara masalah nafkah biasanya disebabkan karena kondisi ekonomi yang semakin hari semakin sulit, dan pergaulan social yang semakin matrealistik. Begitupun KDR biasanya dipicu karena ekonomi, anak, dan perselingkuhan. Ini semua di picu karena lemahnya sistem hukum yang diterapkan di negeri ini.
Sistem kapitalis sekuler yang menjadi akar permasalahan problematika kehidupan dalam berumah tangga, masyarakat, maupun bernegara. Seperti, rendahnya ekonomi di tingkat rumah tangga itu disebabkan karena sulitnya mencari pekerjaan. Ketika suami memiliki pekerjaan pun tidak bisa memenuhi kebutuhan pokok. Karena semakin hari harga kebutuhan pokok semakin tinggi apalagi ditambah naiknya iuran BJS dan listrik yang menambah beban bagi keluarga menengah kebawah.
Permasalahan ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan pemberian pelatihan manajemen keuangan agar bisa menghasilkan hidangan yang bergizi atau pola hidup yang sehat karena pada faktanya angka kemiskinan masih tinggi (Jumlah penduduk miskin sebesar 25,14 juta pada Maret 2019, sumber: BPS).
Berarti masih banyak yang tidak memiliki ekonomi yang baik untuk memenuhi kebutuhan, mau diatur sebaik apapun masih akan memiliki peluang anak-anak yang stunting dan keluarga yang tidak memiliki pola hidup sehat.
Karena hal tersebut membutuhkan biaya sedangkan ekonomi yang tidak memadai. Faktor KDRT yang disebabkan bukan saja karena suami yang kurang bekerja tetapi karena iklim ekonomi yang tidak mendukung banyak orang untuk mendapat pekerjaan yang layak, guna memperoleh imbalan yang layak untuk kebutuhan hidupnya.
Oleh karena itu, tidak cukup diselesaikan hanya dengan pelatihan selama 3 bulan. Persoalan-persoalan tersebut adalah persoalan yang sistemik, tidak cukup hanya diselesaikan dengan pelatihan yang terbatas waktunya apalagi hanya berorientasi pada pemberian pengetahuan dan informasi.
Jika Negara benar-benar serius menghadirkan ketahanan keluarga maka yang harus dilakukan Negara tidak cukup hanya memberikan pelatihan yang ujung-ujungnya mendapat sertifikat, akan tetapi Negara harus mengubah sistem ekonomi, sistem pendidikan dan sistem yang lain yang saling terkait.
Inilah persoalan saat ini, dimana Negara menerapkan sistem kapitalisme yang sekuler. Dibutuhkan suatu sistem yang bisa menghadirkan syariat yang dijalankan secara nyata sehingga bisa menyelesaikan seluruh persoalan umat termasuk ketahanan keluarga.

About Post Author

Tinggalkan Balasan